Tindak Pidana di Bidang Perbankan
Lembaga Perbankan di dalam suatu negara merupakan lembaga yang sangat penting keberadaannya utamanya dalam bidang perekonomian. Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak itu tadi seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan baik yang dilakukan oleh pihak dalam bank itu sendiri maupun seseorang yang telah menjadi nasabah bank demi mencari keuntungan pribadi.
Perbuatan-perbuatan itu dapat diklasifikasikan kedalam tindak pidana khusus yang selanjutnya disebut tindak pidana perbankan. Tindak pidana perbankan yang dimaksudkan disini adalah tindak pidana yang sedikit banyak bersinggungan dengan kegiatan dalam bidang perbankan. Sehingga itulah mengapa hukum perbankan dalam ranah hukum privat sangatlah dapat disinggungkan dengan hukum pidana yang merupakan hukum publik
Macam-Macam Tindak Pidana dalam Bidang Perbankan
Sebagaimana yang telah disinggung pada latar belakang bahwa kejahatan dalam dunia perbankan merupakan kejahatan yang mempunyai motif dalam bidang perekonomian. Tindak pidana perbankan biasanya dikaitkan kedalam jenis kejahatan yang dilakukan oleh kera putih atau yang lazimnya dikenal sebagai “White Collar Crime” dimana yang dimaksud dengan kera putih disini adalah orang-orang tertentu yang dapat terkait dengan dunia perbankan. Tidak semua orang dapat melakukan tindak pidana perbankan karena harus ia yang mempunyai jabatan untuk dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana dalam perbankan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan membagi secara tegas tindak pidana di bidang perbankan menjadi dua jenis yaitu:
- Tindak Pidana Kejahatan
Tindak Pidana Kejahatan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebut dalam pasal 51 ayat 1 sebagaimana yang berbunyi:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat 1, Pasal 49, Pasal 50, dan pasal 50A adalah kejahatan”.
Pasal 46:
Kejahatan yang dimaksud dalam pasal 46 adalah kejahatan karena melanggar apa yang diatur dalam pasal 16 yang menyebutkan bahwa “Setiap pihak yang aka melakukan penghimpunan dana kepada masyarakat dalam bentuk simpanan wajib maka terlebih dahulu harus mendapatkan izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia”. Maka disini telah jelas bahwa setiap pihak yang menghimpun dana dari masyarakat tanpa mengantongi izin usaha dari pihak yang berwenang maka akan diategorikan sebagai tindak kejahatan.
Pasal 47:
Kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah “barangsiapa” atau dengan kata lain tiap-tiap orang yang tanpa mengantongi izin dari pihak pimpinan Bank Indonesia untuk kemudian melakukan kesengajaan memaksa bank ataupun pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan yang sifatnya rahasia sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 40 dimana Bank harus menjaga apa yang menjadi rahasia bank. Sehingga untuk dapat mengetahui apa yang menjadi rahasia Bank itu diperlukan surat izin dari Pimpinan Bank. Kadangkala memang dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu pula seperti misalnya untuk proses kepentingan dalam hal peradilan maupun perpajakan maka seorang Pimpinan Bank wajib memberi surat izin kepada para pihak yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan informasi yang menjadi “Rahasia Bank”.
Pasal 48 Ayat 1:
Kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 49:
Bentuk kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini ialah Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja melakukan perbuatan:
- membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
- menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalampembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
- mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut
Pasal 50:
Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank maka ia dapat dikatakan sebagai pelaku tindak kejahatan terhadap perbankan.
Pasal 50A:
Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank maka pemegang saham yang bersangkutan dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana kejahatan dalam perbankan.
2.Tindak Pidana Pelanggaran
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang merubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tindak pidana perbankan dalam bentuk pelanggaran dimuat dalam pasal 51 ayat 2 sebagaimana yang berbunyi:
“Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat 2 adalah Pelanggaran”.
Sedangkan bentuk pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 48 ayat 2 adalah Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1): kewajiban bank untuk menyampaikan kepada Bank Indonesia segala keterangan dan penjelasan mengenai usaha dan tata cara yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ayat (2) yaitu: atas permintaan Bank Indonesia bank wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang dimiliki oleh bank itu sendiri dan wajib memberi bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keteranga , dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan. Pasal 34 ayat (1): Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba maupun rugi tahunan beserta penjelasannya dalam bentuk yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ayat (2) yaitu: neraca serta perhitungan laba/rugi tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik.
Sumber Literatur:
Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Penerbit Kencana.
Sumber Gambar:
https://travelingyuk.com/museum-de-javasche-bank-surabaya/229549