Perbedaan Penipuan, Penggelapan dan Wanprestasi
Masyarakat Indonesia dalam kehidupannya terlibat dalam suatu perjanjian bisnis dan salah satu pihak wanprestasi/tidak memenuhi janji kemudian pihak yang lain membuat laporan ke polisi dengan sangkaan adanya penipuan, apakah sudah tepatkah langkah tersebut? Sebelum menjawab, mari kita lihat apa itu perbedaan penipuan dan wanprestasi. Masyarakat awam yang tidak mengerti hukum juga keliru antara penipuan dan penggelapan. Apa perbedaan ketiga hal tersebut?
Penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog). Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Dari definisi tersebut diatas, maka yang disebut penipuan apabila memenuhi unsur sebagai berikut:
- Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan
hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai
nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang mengatakan:
“Unsur pokok delik penipuan (Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delik untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.”
Dari uraian unsur penipuan tersebut diatas, poin c merupakan cara/upaya yang dilakukan oleh pelaku penipuan, oleh karenanya apabila rekan bisnis anda dalam perjanjian menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, maka sudah tepat langkah anda melaporkan rekan bisnis anda ke polisi.
Penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Dari penjelasan pasal tersebut, penggelapan terjadi pada benda yang telah dikuasai tanpa melawan hukum, tetapi disalahgunakan kekuasaan yang telah diberikan tersebut sebagian dan/atau seluruhnya. Contohnya: A dipercayai untuk menjaga rumah beserta isinya, tetapi si A menjual isi rumah tersebut seperti tv, springbed,ac,vcd,dan furnitur yang ada dirumah tersebut.
Lalu bagaimana dengan wanprestasi? Sebelum menjelaskan apa itu wanprestasi, maka harus diketahui dahulu apa itu prestasi. Prestasi (performance) dalam perjanjian adalah suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan perjanjian, pelaksanaan tersebut harus sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah disepakati sebagaimana disebutkan dalam perjanjian tersebut.
Dalam Pasal 1234 KUHPerdata, Prestasi tersebut antara lain:
- memberikan sesuatu;
- untuk berbuat sesuatu;
- atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Adapun wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa ang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji.
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa 4 macam :
- Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
- Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
- Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Lalu apa sanksi yang diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi? Hukuman terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang (si berutang atau debitur sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancam beberapa sanksi atau hukuman yaitu :
- Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau ganti rugi.
Ganti rugi sering diperinci dalam 3 unsur : biaya, rugi, dan bunga.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan milik kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur.
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
- Pembatalan perjanjian atau disebut pemecahan perjanjian. Menurut pasal 1267 KUHPerdata :
“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.”
Pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai itu dengan pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian biaya, rugi, dan bunga (ganti rugi). dengan sendirinya, ia dapat menentukan pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi saja, misalnya penggantian kerugian karena pemenuhan itu terlambat, atau kualitas barangnya kurang dan lainnya.
- Peralihan risiko. Pasal 1237 KUHPerdata.
“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya.” Yang dimaksud risiko yaitu kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan risiko dapat digambarkan pada Pasal 1460 KUHPerdata :
“Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya.”
- Membayar biaya perkara , jika diperkarakan didepan hakim.
Bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan jika sampai terjadi suatu perkara di depan hakim.
Referensi :
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 2005