Dasar Peniadaan Pidana dan Peringanan Pidana dalam KUHP

Peniadaan pidana terjadi apabila pelaku atau terdakwa sudah memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan PerUndang-Undangan, tetapi tidak dipidana karena beberapa alasan yang dapat menyebabkan pelaku tindak pidana dikecualikan dari penjatuhan sanksi pidana. Artinya dasar Peniadaan pidana adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang telah melakukan rumusan delik, untuk tidak dipidana karena kewenangan yang diberikan undang-undang kepada hakim. Secara garis besar, dasar peniadaan pidana terbagi menjadi  dasar pembenar, dasar pemaaf, dan penghapus penuntutan.

Dasar pemaaf (schulduitsluitings gronden) adalah alasan yang bersifat subjektif dalam melekat pada diri seseorang, hubungannya terkait dengan sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat tindak pidana. Artinya, perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tetap bersifat melawan hukum, tetapi karena hilang atau hapusnya kesalahan si pembuat maka orang tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Dari perspektif putusan hakim, apabila tidak terdapat kesalahan pada diri pelaku maka akan dibuat putusan lepas (ontslag).

Dasar Pemaaf dalam KUHP :

  • Ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP). Dalam hal ini ketidakcakapan tersebut terjadi karena dua hal, yakni adanya pertumbuhan yang tidak sempurna dari akalnya dan adanya kondisi kecacatan jiwa karena penyakit. Contohnya jika psikiater telah menatakan bahwa terdakwa adalah gila atau tidak sehat pikirannya, maka hakim tidak boleh menyatakan salah dan menjatuhkan pidana.
  • Pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau yang disebut dengan overmacht (Pasal 48 KUHP). Kata “daya paksa” ini artina kekuatan atau daya yang lebih besar.kekuatan fisik yang mutlak yang tidak dapat dihindari dinamakan vis compulsiva. Dibagi dalam daya paksa arti sempit (overmacht in enge zin ) artinya sumberna dari paksaan keluar dari orang lain, dan keadaan darurat (noodtoestand) artinya daya tadi tidak disebabkan oleh orang lain, tetapi timbul dari keadaan-keadaan tertentu.

Contoh Daya paksa sempit adalah jika orang ditodong dengan pistol untuk melakukan sesuatu perbuatan pidana.

Contoh dalam Keadaan Darurat  yaitu :

  1. Orang terjepit antara dua kepentingan. Contoh : papanyna Karneades. Karneades seorang Yunani di zaman kuno, ketika kapalnya tenggelam dapat menyelamatkan diri dengan pegangan pada suatu papan ang terapung di air, dimana ada juga orang lain yang pegangan pada papan tersebut. Tetapi papan tersebut ternyata hana cukup untuk mengangkat satu orang saja. Untuk meyelamatkan dirinya, maka Karneades lalu mendorong orang lain tadi lepas dari papan sehingga tenggelam dilaut. Disini dia mengorbankan kepentingan orang lain untuk menelamatkan dirinya sendiri.
  2. Orang terjepit antara kepentingan dan kewajiban. Contoh : karena sudah tidak makan selama beberapa hari, orang mencuri sebuah roti. Di satu pihak kepentingan sendiri mendesak untuk segera mendapat makanan, di lain pihak adalah kewajibanya untuk mentaati larangan mencuri. Akhirnya kepentingan sendiri dituruti.
  3. Ada konflik antara dua kewajiban. Orang dapat panggilan untuk hadir di pengadilan pada hari yang sama, dimana dia juga harus datang pada pengadilan di kota lain. Kewajiban pertama diabaikan untuk menunaikan kewajiban yang kedua.
  • Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 ayat (2) KUHP)

Untuk dapat melepas orang yang diperintah dari tanggung jawab atas perbuatannya, ada 2 syarat:

  1. Subjektif, yaitu dalam batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintahnya adalah sah, baik dari segi macamnya perintah. Harus berdasar atas fakta-fakta yang masuk akal. Sebab, meskipun terdakwa mengatakan dia mengira bahwa perintah adalah sah, tetapi kalau hal itu dengan wajar tidak dapat disimpulkan dari fakta-fakta yang ada, maka disitu unsur itikad baik tidak ada.
  2. Objektif, yaitu dalam kenyataannya, harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya. Contohnya jika polisi diperintahkan oleh atasanna supaya orang tahanan yang selalu berteriak-teriak saja dipukul. Karena tugas dari seorang polisi bukan untuk menyiksa orang tetapi hanya untuk menangkap, menggeledah badannya, atau memeriksa perkaranya maka apa yang diperintahkan tadi tidak masuk dalam lingkungan pekerjaannya.

 

Dasar Pembenar (rechtvaardigingsgronden), yaitu alasan yang bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat. Alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Dari perspektif putusan hakim, apabila tidak ada sifat melawan hukum dalam perbuatannya maka akan dibuat putusan bebas (vrijspraak).

Dasar pembenar dalam KUHP :

  1. Adanya keadaan darurat (noodtoestand) yang diatur dalam Pasal 48 KUHP. Hal ini merupakan suatu keadaan darurat yang membuat seseorang dalam keadaan ba-haya, sehingga untuk melawan bahaya itu, seseorang terpaksa melanggar kepentingan hukum orang lain. Adapun pertentangan yang terjadi adalah pertentangan antara kepentingan hukum, pertentangan antara kewajiban hukum, dan pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum.
  2. Adanya bela paksa (noodweer) yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. Noodweer harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
  • Harus ada serangan atau ancaman serangan. Dari segi serangan, harus memenuhi unsur bahwa serangan tersebut adalah melawan hukum, seketika atau langsung, ditujukan pada diri sendiri atau orang lain terhadap badan, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda.
  • Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu. Dari segi pembelaan, harus seketika atau langsung juga, pembelaan tersebut menunjukkan keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilanggar dan kepentingan hukum yang dibela.
  • Melaksanakan perintah undang-undang yang diatur dalam Pasal 50 KUHP. Itu artinya, apa yang diperintahkan oleh undang-undang untuk melakukan sesuatu tidak dapat dianggap sebagai suatu peristiwa pidana, contohnya adalah algojo.

 

Dasar Penghapus Penuntutan, tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatna orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.jika perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana. Contoh pada pasal 53 KUHP, jika terdakwa dengan suka rela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatan.

Dasar Peringan Pidana terjadi ketika seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana, akan tetapi terdapat alasan yang membuat pelaku diancam dengan hukuman yang lebih ringan dari yang semestinya. Dasar peringan pidana ini terbagi menjadi dua: umum dan khusus.

Untuk dasar peringanan pidana yang umum, terdapat pasal yang mengaturnya, yakni: Orang yang belum cukup umur yang dapat dipidana dalam Pasal 45 KUHP, sekarang terdapat dapat Pasal 26-28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak. Pada prinsipnya, anak-anak dapat dimintai pertanggungjawaban. Akan tetapi, tidak secara penuh sebab pemberian hukuman bagi anak itu tujuan-nya bukan semata-mata untuk menghukum tetapi lebih untuk mendidik kembali dan memperbaiki, dengan memperhatikan masa depan dan kepentingan sang anak. Maka dari itu, menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, seseorang anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban dapat dikenai pidana maksimal ½ dari maksimal ancaman pidana bagi orang dewasa.

Sedangkan untuk dasar peringan pidana yang khusus, terdapat di dalam rumusan delik itu sendiri, seperti halnya dalam Pasal 308 KUHP, 341 KUHP, dan 342 KUHP.

 

 

Referensi :

  • Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008
  • Jurnal KPK “Hukum dan Sistem Peradilan Pidana”
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak

 

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS

Wordpress (0)