Jaminan Kredit Perbankan
Dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 digunakan dua istilah yang berbeda namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Istilah yang pertama adalah “Kredit” di mana istilah ini digunakan pada bank konvensional dalam menjalankan usahanya, dan yang kedua adalah “Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah” yang lazim digunakan pada bank syariah dalam menjalankan usahanya.
Pengertian kredit disebutkan dalam ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai berikut:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jamgka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pengertian pembiayaan disebutkan dalam ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai berikut:
Pembiayaan bersadarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Pengertian kata “Jaminan (Kredit)” dalam perspektif Undang-Undang Perbankan yakni UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 berbeda dengan makna kata “Jaminan Kredit” dalam perspektif Hukum Jaminan. Makna kata jaminan dalam perspektif Undang Undang Perbankan lebih luas dibandingkan makna kata jaminan yang selama ini kita kenal.
Disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, bahwa:
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasar prinsip syariah yang sehat. Diterangkan pula dalam penjelasan ini, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah berarti keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya (utangnya) sesuai dengan yang diperjanjikan. Keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur itulah yang menjadi faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Dalam rangka memperoleh keyakinan tersebut maka sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. [1]
Selain itu disebutkan pula dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dalam Pasal 1 butir 23 UU No 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 disebutkan pengertian agunan sebagai berikut:
“Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada Bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah”
Konsep jaminan kredit perbankan dalam Undang-Undang Perbankan atau UU No. 7 Tahun 1992 dan perubahannya pada UU No. 10 Tahun 1998 menempatkan agunan sebagai salah satu faktor yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan bank dalam mencapai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk memenuhi kewajibannya (membayar hutang).
Fungsi Jaminan Kredit Perbankan dalam Pemberian Kredit Perbankan
Menurut M. Bahsan, fungsi jaminan kredit dapat ditinjau dari sisi bank maupun sisi debitur[2], yang dikemukakan lebih lanjut sebagai berikut.
- Jaminan Kredit sebagai Pengamanan Pelunasan Kredit
Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada debitur wajib melakukan upaya pengamanan agar kredit tersebut dapat dilunasi debitur yang bersangkutan. Sekecil apapun nilai uang dari kredit yang telah diberikan pada debitur tetap harus diamankan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Keterkaitan jaminan kredit dengan pengamanan kredit dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sehingga merupakan upaya alternatif yang dapat digunakan bank untuk memperoleh pelunasan kredit pada waktu debitur ingkar janji kepada bank.
Bila dikemudian hari debitur ingkar janji, yaitu tidak melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit, akan dilakukan pencairan / penjualan atas objek jaminan kredit yang bersangkutan. Hasil pencairan jaminan kredit tersebut selanjutnya diperhitungkan oleh bank untuk pelunasan kredit debitur yang telah dinyatakan sebagai kredit macet.
Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit muncul pada saat kredit dinyatakan sebagai kredit macet.
- Jaminan Kredit sebagai Pendorong Motivasi Debitur
Umumnya,sesuai dengan ketentuan masing-masing bank, nilai jaminan kredit yang diserahkan debitur kepada bank lebih besar dibandingkan nilai kredit yang diberikan bank pada debitur yang bersangkutan. Dengan adanya pengikatan jaminan kredit berupa harta milik debitur yang bersangkutan takut akan kehilangan hartanya tersebut. Hal ini tentunya memberi motivasi pada debitur untuk menggunakan kredit sebaik-baiknya, serta mengelola kegiatan usaha dan kondisi keuangan secara baik sehingga dengan segera dapat melunasi kreditnya agar dapat menguasai kembali hartanya.
- Fungsi yang Terkait dengan Pelaksanaan Ketentuan Perbankan
Penguasaan dan pengikatan jaminan kredit secara sempurna terkait dengan ketentuan lain di bidang perbankan. Keterkaitan jaminan kredit dengan ketentuan perbankan yang dikeluarkan oleh bank Indonesia, salah satu contohnya mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang penilaian agunan sebagai faktor pengurang dalam penghitungan PPA.
Sumber:
[1] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Prenamedia Group, 2005. Hlm 72.
[2] M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007. Hlm 103