Eksistensi Pidana Mati

Hukuman di dalam sistem hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua) sebagaimana yang diatur di dalam pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni:

1.Hukuman pokok.

a. pidana mati;

b. pidana kurungan;

c. pidana denda;

d. pidana tutupan.

2. Hukuman Tambahan

a. Pencabutan hak-hak tertentu;

b. perampasan barang-barang tertentu;

c. Pengumuman putusan hakim.

Yang dimaksud dengan pidana mati yakni sebagaimana yang ada di dalam pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni:

Pasal 11:

“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.”

hukuman mati pertama kali dilaksanakan pada awal abad ke-18 SM di masa Kerajaan Babylonia (Raja Hammurabi). Selanjutnya, Imperium Kekaisaran Romawi juga menerapkan hukuman mati pada abad ke-12 masehi. Bentuk hukuman mati pada masa Imperium Romawi sendiri cenderung bervariasi, yakni penyaliban, dilempari sampai mati, dan lain sebagaianya.

Hukuman mati bagi para pelaku yang dianggap bersalah ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai negara. Karena banyaknya pro dan kontra di masyarakat tersebut maka ada negara yang sudah menghapus hukuman mati dan ada juga yang masih mempertahankan hukuman mati ini untuk beberapa kasus, diantaranya:

  1. Semua wilayah eropa (kecuali belarus) serta beberapa negara wilayah pasifik ( termasuk australia, selandia baru, timor leste) serta kanada sudah tidak memberlakukan hukuman pidana mati.
  2. Amerika Serikat, Gutemala, dan negara-negara Karibean, asia, serta afrika masih memberlakukan pidana mati
  3. Beberapa bagian di Amerika Latin telah menghapus pidana mati, namun beberapa negara seperti Brasil tetap memberlakukan pidana mati untuk keadaan eksepsional
  4. Pada tahun 2007 Negara Albania dan Rwanda juga telah menghapus pidana mati.

 

Apabila kita melihat pada susunan  pada pasal 7 ayat (1) UU No 12 tahun 2011:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
  2. Ketetapan MPR
  3. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan Provinsi
  7. Peraturan kabupaten/kota

Lantas Bagaimana eksistensi hukuman mati apabila disandingkan dengan UUDNRI 1945 Pasal 28A  yang menyatakan

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”

Pasal 33 ayat (2) UU HAM:

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa”

Dalam hal ini Hak untuk hidup pada pasal 28A UUDNRI 1945 serta setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa tidak bisa diartikan secara diametral atau sama sekali bertentangan dengan pidana mati. Sejalan dengan hak kebebasan pribadi pada pasal 4 UU HAM dan hak atas kemerdekaan sebagaimana yang tertera di dalam pembukaan UUDNRI 1945 yang juga tidak dapat dihadapkan secara diametral dengan pidana penjara.

Pidana penjara pun dapat dikatakan bertentangan dengan UUDNRI 945 apabila kita mengartikannya secara diametral karena pidana penjara juga dapat diartikan seperti yang tertera dalam pasal UUDNRI 1945 dan pasal 33 ayat (2) UU HAM yang menyebut bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

Selain itu sebagaiman yang ada didalam pasal 1 ayat (1) Convention against Torture and Other  Cruel, Inhuman or  Degrading Treatment or Punishment, General Assembly Resolution berkata:

“for the purpose of this convention, the term ‘torture’ means an act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person such purposes as….by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official or other person acting in an official capacity. It does not include pain or suffering arising only from, inherent or incidental to lawful sanctions.”

Dari kutipan diatas yang mana ada kalimat ‘torture’ dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana tidak dapat dikategorikan sebagai ‘torture’ . maka dapat dikatakan bahwa pidana mati dengan pelanggaran ham tidak dapat disandingkannya rasa sakit atau penderitaan tidak dapat di sandingkan dengan sanksi pidana yang diberikan.

Selain itu pasal 28 UUDNRI 1945 mengenai hak untuk hidup dan pasal 33 ayat (2) UUHAM juga sejalan dengan pasal 6 ayat (1) ICCPR yang berisi:

“Every human being has the righ to life.”

Akan tetapi kalimat tersebut dilanjutkan dengan:

“No one shall be arbitrarily deprived of his life”

Jadi walaupun dalam ICCPR menyatakan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup namun tidak ada yang dapat mengambil nyawanya secara sewenang-wenang. Dalam hal ini yang perlu digaris bawahi ialah secara sewenang-wenang. Maka dari itu sanksi pidana tidak dapat disandingkan dengan pasal-pasal yang ada di UUDNRI 1945 ataupun isi-isi dari dokumen-dokumen lain karena setiap orang yang menerima sanksi pidana ialah orang yang sebelumnya telah melewati proses penyelidikan,penyedikan,serta persidangan atas segala kejahatannya sehingga dikenakan sanksi pidana atau dalam hal ini pidana mati itu sendiri.

Referensi:

  • UUDNRI 1945
  • UU HAM
  • Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang, PT Citra Aditya Bakti

 

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS

Wordpress (0)