Korupsi, Suap, dan Gratifikasi
Dalam beberapa tahun terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi sedang gencar-gencarnya melakukan OTT atau Operasi Tangkap Tangan. Hal ini diyakini sebagai salah satu upaya untuk menurunkan tingkat korupsi di Indonesia. Berdasarkan catatan KPK sendiri, kasus korupsi terbanyak terjadi sepanjang tahun 2018 dengan jumlah 20 kasus yang didominasi oleh Anggota DPR dan DPRD. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Undang-Undang terkait tidak hanya menjelaskan tentang korupsi tetapi juga tentang suap dan gratifikasi. Sebelum membahas tentang pasal-pasal UU terkait ada baiknya jika kita mengerti terhadap masing-masing dari pengertian korupsi, suap, dan gratifikasi. Korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri dan atau orang lain dengan mengbambil atau mengalihkan kekayaan Negara secara tidak sah. Suap merupakan pemberian atau janji pemberian sesuatu kepada pejabat Negara /Pemerintah dengan imbalan agar Pejabat Negara/Pemerintah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau untuk tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Sedangkan Gratifikasi adalah hibah atau pemberian kepada seseorang pejabat karena jabatannya dalam penyelenggaraan Pemerintahan/Negara. Dari tiga pengertian tersebut dapat dilihat bahwa Korupsi, Suap dan Gratifikasi memiliki unsur yang berbeda.
Adapun pasal umum yang biasa dijerat dakam tindak pidana korupsi ialah Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 32 tahun 1999 yang juga telah dijelaskan di artikel sebelumnya (
Banyaknya BUMN Bermasalah (Sudut Pandang Dari Tindak Pidana Korupsi)
). Selanjutnya ialah Suap dan Gratiikasi, suap diatur dalam Pasal 11 UU No 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa
“dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”
Sedangkan gratifikasi diatur dalam Pasal 12B UU yang sama yang menyatakan bahwa
“Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
- pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;”
Jadi, selain pengaturan suap dan gratifikasi berbeda, definisi dan sanksinya juga berbeda. Dari definisi tersebut di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Jika melihat pada ketentuan-ketentuan tersebut, dalam suap ada unsur “mengetahui atau patut dapat menduga” sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Jadi, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia memang masih belum terlalu jelas pemisahan antara perbuatan pidana suap dan perbuatan pidana gratifikasi karena perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait dengan jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut.
Sumber:
UU Nomor 31 Tahun 1999
UU Nomor 20 Tahun 2001
Hukumonline.com