Komisi Yudisial
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah mengatur mengenai Komisi Yudisial sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 24B ayat (1) yakni
“Komisi Yudisial lembaga negara yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”
Kekuatan fungsi Komisi Yudisial juga tertuang di dalam UU peradilan tentang peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara yang menyebutkan bahwa Komisi Yudisial melakukan proses seleksi pengangkatan hakim bersama Mahkamah Agung (UU No. 49/2009 Pasal 14A ayat (2), UU No 50/2009 Pasal 13A ayat (2). Maka disimpulkan bahwa kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan rekrutmen hakim menjadi tidak terbatas pada hakim agung, selain itu Komisi Yudisial juga ikut serta dalam menyeleksi pengangkatan hakim. Komisi Yudisial juga memiliki kewenangan dalam mengusulkan pemberhentian hakim yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim kepada presiden.
Kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan rekrutmen Hakim Agung sebagaimana tertuang dalam pasal 14 ayat (1) UU No 22 Tahun 2004 secara rinci, yakni:
- Melakukan pendaftaran calon Hakim agung
- Melakukan seleksi calon hakim agung
- Menetapkan calon hakim agung
- Mengajukan usulan calon hakim agung ke DPR
Dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang baru menyebutkan bahwa pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung sedangkan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komsisi Yudisial.
Maka dari itu dalam rangka pengawasan peradilan, terdapat tiga aspek pengawasan yang harus diperhatikan, diantaranya:
- Pengawasan dalam lingkup yudisial
Penilaian terhadap putusan pengadilan yang secara universal dalam sistem hukum diseluruh dunia tidak boleh dinilai oleh lembaga lain selain melalui proses upaya hukum sesuai dengan hukum acara. Pengawasan melalui penilain diluar mekanisme hukum acara bertentangan dengan prinsip RES JUDICATIE PRO VITAE HABITEUR yang artinya apa yang diputus hakim harus dianggap sudah benar, apabila dianggap terdapat suatu kekeliruan maka yang dilakukan adalah koreksi melalui upaya hukum sesuai dengan hukum acar yang berlaku
Dalam sistem peradilan Indonesia wewenang pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan dibawah Mahkamah Agung dengan ketentuan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam UU tentang kekuasaan kehakiman yang baru pasal 39 menyebutkan Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.
2. Pengawasan dalam ruang lingkup administratif
Meliputi pelaksanaan tugas adminstrasi umum, keuangan, dan personalia, pengawasan administrasi perkara yang mencakup pencatatan buku register, penerimaan dan pengiriman berkas perkara, minutasi perkara, tata cara pengawasannya berlaku sebagaimana menurut norma manajemen pengawasan pada umumnya
3. Pengawasan atas tingkah laku hakim
Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, kekeliruan martabat serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.
Pengawasan atas tingkah laku hakim oleh Komisi Yudisial adalah pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan kode etik dan perilaku hakim (Psal 40 ayat 1 UU 48/2009) sedangkan pengawasan hakim kosntitusi secara khusus dilakukan oleh majleis Kehormatan Hakim Konstitusi, pengawasan yang diatur dengan Undang-Undang (Pasal 44 Kekuasaan Kehakiman)